Usaha kerajinan tradisional dari tembaga di Desa Gulurejo, Lendah, Kulon Progo, terancam punah. Selama
Kini, perajin tembaga yang tersisa hanya Longgar (40) dan Ngadilan (35). Kedua warga Dusun Mendiro, Gulurejo, itu tetap mempertahankan usaha pembuatan suvenir dari tembaga karena sudah menjadi warisan turun-temurun keluarga.
Jenis souvenir kerajinan tembaga yang dihasilkan Longgar dan Ngadilan antara lain miniatur andong, becak, dan pedati. Selain itu, mereka membuat aksesori penghias sanggul dan bros.
Harga produk bervariasi mulai Rp 5.000 sampai Rp 25.000 per buah, tergantung ukuran dan tingkat kerumitan desain.
"Sejak saya kecil, keluarga sudah membuat kerajinan tembaga. Ini adalah mata pencaharian utama kami," tutur Longgar, saat ditemui di studio kerjanya.
Puncak keruntuhan terjadi pada tahun 2002. Ketika itu,
Sebagian perajin mulai beralih profesi sebagai penambang pasir di Sungai Progo, sementara sebagian yang lain mencoba bertahan dengan membidik pasar lokal. Kerajinan tembaga dipasarkan melalui penjual perak di Kotagede,
Akan tetapi, lanjut Ngadilan, semakin lama, usaha jual-beli perak di Kotagede juga makin lesu. Satu per satu perajin tembaga yang tersisa di Lendah mulai banting setir profesi menjadi buruh pabrik atau mengikuti jejak rekan-rekan mereka terdahulu sebagai penambang pasir.
Kurang perhatian
Menurut Longgar, belum ada usaha nyata dari pemerintah daerah untuk menghidupkan kembali Desa Gulurejo sebagai sentra kerajinan tembaga di Kulon Progo. "Petugas hanya sesekali datang. Tidak ada kelanjutan berupa bantuan modal, padahal harga tembaga naik terus. Sekarang saja sudah Rp 80.000 per kilogram," kata Longgar.
Ayah dua anak itu melanjutkan, jika tidak ada langkah penyelamatan, sentra kerajinan tembaga bisa diambil oleh warga Gunung Kidul. Saat ini, beberapa pedagang perak dan logam di Kotagede mulai memercayakan pengerjaan produk kepada perajin di Wonosari karena biaya tenaga kerja lebih murah dibandingkan dengan yang ada di Lendah.
cetak.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar