Selasa, 06 April 2010

Industri Kerajinan Bordir Baju Menembus Butik



Kerajinan Bordir Baju untuk berbagai jenis busana muslim, kerudung, kebaya, mukena, serta seprai taplak meja cukup berkembang di Kabupaten Lamongan. Dari usaha yang dirintis di kampung-kampung, bordir Lamongan menembus butik hingga ke Bali.

Kerajinan itu di antaranya dikembangkan Ny Rochmah Damiri dengan usaha Al Rochmah di Kecamatan Glagah, AM Tarmudzi dengan UD Al Livia di Kecamatan Deket, dan Wiwik Wilujeng dengan usaha Nusa Indah di Kecamatan Karangbinangun.

Di rumah Wiwik Wilujeng (48) di Dusun Monolelo, Desa Karangbinangun, ada 13 mesin untuk menjahit, mesin obras, dan bordir. Bersama ibu-ibu rumah tangga tetangganya, ratusan mode sudah dituangkan pada produknya. Hingga saat ini produk mereka masih diminati pembeli dari berbagai daerah di antaranya Surabaya, Malang, dan Mojokerto.

Wiwik terus merancang mode dan pola Bordir Baju, baik baju muslim, jubah, mukena, kerudung, kebaya, satu set seprai, sarung bantal, dan sarung guling, hingga taplak meja. Mereka ada yang datang langsung membeli, ada pula yang memesan motif tertentu hingga jumlahnya mencapai ratusan buah. Dari borongan Rp 25.000 per unit, misalnya, ibu-ibu mendapatkan Rp 22.500 untuk bordir alusan (bagus) dan bordir kasar Rp 20.000. "Secara keseluruhan ada sekitar 100 orang yang terlibat membordir, terbagi dalam enam kelompok. Saya membagi pekerjaan bila ada order merangkap pengepul," kata Wiwik.

Setiap bulan omzet yang diraih rata-rata mencapai Rp 30 juta. Pesanan dari Surabaya, Gresik, dan Lamongan serta pelanggan sedikitnya mencapai 125 kebaya per bulan. Permintaan jubah dan mukena kurang lebih juga sama banyaknya. Pengerjaan bordir baju kebaya dalam tiga hari selesai dua potong, jilbab sehari bisa tiga potong, sedangkan satu set seprai selesai seminggu. "Untuk membordir pakaian setiap orang butuh waktu dua hari, jubah sehari, mukena dua hari," tutur Wiwik.

Di rumahnya, Wiwik menjual Rp 90.000 hingga Rp 125.000 untuk kebaya yang kasar dan yang halus Rp 150.000 dan Rp 90.000 untuk mukena dan jubah. "Harga yang saya tawarkan bervariasi mulai Rp 125.000 hingga Rp 600.000 tergantung mode dan bahannya," katanya.

Pengalaman Wiwik pun ditularkan dengan memberikan kursus pelatihan terkait jahit-menjahit di PKK Kabupaten Lamongan dan instansi di luar daerah. Dia meyakini dengan ilmu dan keterampilan yang dipunyai akan lebih bermanfaat bila dibagi pada yang lain.

Ibu-ibu di lingkungannya diajak membordir, jumlahnya mencapai 52 orang. Mereka sudah mampu membordir dan menjadi plasma dan membantu keberhasilan usahanya, di antaranya Mualiyah yang sudah menekuni bordir selama 10 tahun dan Sabkiyah yang sudah menekuni bordir selama delapan tahun.

Wiwik mewarisi bakat ibunya, Nutyamuah, ditambah dia sering mengikuti pelatihan. Dia merasa pengetahuan bordirnya masih kurang. Dia juga studi banding ke Tasikmalaya dan Probolinggo. Wiwik jadi banyak tahu mode lain bordir sangat variarif sehingga menambah semangatnya menekuni usahanya itu.

Sebagai perajin harus kreatif dan inovatif mencipta pola, corak, serta motif sebab motif bordir gampang ditiru. Kini persaingan bertambah ketat dengan perubahan teknologi menggunakan komputer. "Dulu saya juga melayani badge sekolah dan bordir nama siswa, tetapi sekarang kalah dengan komputer. Makanya saya fokus pada pakaian, taplak meja dan seprai," kata Wiwik.

kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar