Jepara sudah lama tenar di mancanegara sebagai kotanya teak furniture. Menyusuri jalan utama kota (yang cuma satu-satunya), kita akan dihinggapi euforia, ingin memboyong ke rumah semua perabot cantik yang dipajang di showroom toko di kanan dan kiri. Ada yang berukir njelimet seperti perabot warisan nenek-kakek kita, ada pula yang bermodel minimalis, seperti yang sedang in di toko-toko home and living ternama di Jakarta.
Bukan hanya desain barang yang khas menjadi daya tarik, melainkan juga perabot kualitas ekspor. Asal tahu saja, 10% ekspor Indonesia yang bernilai 1,5 miliar dolar AS per tahun, berasal dari Jepara. Setiap hari, belasan container berisi perabot kelas satu menempuh perjalanan menuju pelabuhan di Semarang untuk kemudian dilayarkan menuju negara-negara Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, dan lain-lain.
Tapi ternyata dari 12.000 unit bisnis furniture di sana, yang ‘hijau’ dan menerapkan ecolabel baru sedikit. Awal mula dibuatnya furniture dengan ecolabel pun bukan ide yang muncul dari produsen, melainkan untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri. Persisnya, ketika kesadaran green lifestyle mendunia satu dekade lalu. Meski harganya bisa sampai 20% lebih mahal dibanding furniture yang tidak ber-ecolabel, konsumen asing tidak komplain.Kenapa harga produk ‘hijau’ menjadi lebih mahal? Karena, perlu biaya tambahan untuk tim sertifikasi dalam melaporkan runutan asal perabot (furniture chain). Tim ahli ini juga bertugas untuk melihat apakah syarat-syarat ekologi, ekonomi dan sosial yang dibutuhkan untuk furniture hijau, sudah terpenuhi. Belakangan, tak sedikit produsen furniture yang tak memperbarui sertifikasi ecolabel-nya. Biasanya, ini karena konsumen asing sudah menaruh rasa percaya kepada produsen. Juga,karena konsumen tak mau terus-menerus membayar lebih mahal.
Sebenarnya, kita memiliki Lembaga Ekolabel Indonesia. Sayang, menurut Herry Purnomo dari Center for International Forestry Research (CIFOR), LEI masih berjuang dalam mendapatkan pengakuan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar